Beranda > info katresna72, Pendidikan, Umum > PENERAPAN ICT DALAM PENGEMBANGAN KEILMUAN BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA

PENERAPAN ICT DALAM PENGEMBANGAN KEILMUAN BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA


Oleh Adi Atmoko

Univerisitas Negeri Malang

Email: adias_65@yahoo.co.id

 

A. Apakah BK suatu ilmu?

Melaksanakan tugas dari panitia seminar untuk membahas penerapan ICT dalam pengembangan keilmuan Bimbingan Konseling (BK) tentu berpijak pada asumsi bahwa BK adalah suatu ilmu, di samping sebagai suatu profesi layanan bantuan. Pada kesempatan ini, disampaikan lebih dahulu pandangan (tepatnya cita-cita) bahwa BK dikembangkan menjadi suatu keilmuan yang kokoh, yang sejalan dengan itu dikuatkan pula kedudukannya sebagai suatu profesi. Artinya, BK sebagai profesi di seting pendidikan dapat dikembangkan berlandaskan atas keilmuan BK.

Keilmuan BK dapat diartikan bahwa kinerja BK berlandas atas suatu teori (-teori) tertentu, bukan sekedar praktik pragmatik. Tanpa teori, maka konselor menjadi rentan, mudah mengalami dis-orientasi ketika menghadapi ratusan informasi, bahkan mungkin informasi sepotong-sepotong, tentang kegiatan bimbingan konseling yang ia laksanakan. Teori menjadi semacam cara pandang yang berguna sebagai landasan yang membimbing konselor dalam melaksanakan kegiatan BK.

Teori pada dasarnya merupakan seperangkat proposisi (pernyataan tentang hubungan dua variabel atau lebih) yang telah teruji yang digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menjelaskan sejumlah fenomena. Teori digunakan untuk mengorganisir sejumlah pengetahuan manusia tentang suatu objek atau fenomena tertentu, untuk menghasilkan hipotesis tentang objek atau fenoma tertentu yang lainnya, berkaitan dengan bidang ilmu. Teori kemudian digunakan sebagai acuan dalam mengobservasi, menilai, memprediksi dan mengontrol suatu fenomena lain di bidang ilmu yang bersangkutan.

Dalam konteks BK, teori secara akurat mendeskripsikan, memahami, menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel dalam suatu fenomena, dan kemudian memprediksi dan mengontrol (mengintervensi) fenomena ‘lain atau di waktu lain’ berkenaan dengan perilaku konselor dan konseli dalam suatu kegiatan bimbingan konseling. Suatu teori, misalnya, mampu secara tepat menjelaskan apa yang menyebabkan problem konseli, menyampaikan prediksi tentang respon dan perilaku konseli, dan menawarkan suatu teknik yang relevan sebagai kontrol atau solusi tertentu atas problem konseli tersebut, bahkan solusi bagi pertumbuhan dan perkembangan konseli di masa depan.

Berbagai definisi tentang Bimbingan dan Konseling (BK) pada dasarnya memiliki kesamaan yakni BK sebagai layanan bantuan (helping services) oleh konselor kepada konseli untuk mencapai tujuan tertentu, dengan menggunakan pendekatan, metode, teknik tertentu yang berlandaskan pada suatu paradigma atau teori tertentu pula. Sebagai pemikiran awal, BK setidaknya telah memenuhi syarat dikatakan sebagai ilmu, atau setidaknya berpotensi dikembangkan sebagai cabang atau spesifikasi untuk menjadi ilmu (keilmuan BK).

Gagasan keilmuan BK mengharuskan kita, pemangku bidang BK, untuk menata ulang apa yang sudah dipelajari dan dilaksanakan kedalam suatu kerangka kerja keilmuan, yakni paling tidak memenuhi syarat pada aspek ontologis (objek dan evidensi ilmu), epistimologis (metode pengembangan ilmu) dan aksiologis (penerapan keilmuan BK).

 

1. Aspek Ontologis

Pada aspek ontologis, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa objek keilmuan BK berpusat pada hubungan bantuan (helping relationship) antara konselor dan konseli dalam seting pendidikan yang dengan sendirinya mencakup lingkungan sekolah, siswa, guru, kepala sekolah, tujuan sekolah, kegiatan sekolah, dan sebagainya yang ikut terlibat dalam hubungan konselor-konseli tersebut. Di samping itu, mengingat siswa adalah juga makhluk yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, maka keluarga, komunitas, dan masyarakat juga akan menjadi objek keilmuan BK.

Dari objek ilmu tersebut dirumuskan suatu premis-premis dasar, sebagai the thing in itself atau the self evident-proposition yang diyakini kebenarannya secara mutlak  dan bersifat transenden-universal. Dalam berbagai literatur BK yang diajarkan pada calon konselor di Indonesia, tampaknya kita masih banyak “menginduk” pada teori-teori bidang psikologi khususnya psikoanalitik, humanistik dan behavioristik. Misalnya dalam bidang konseling, kita menggunakan psikoanalitik klasik yang memandang hakikat perilaku dan kepribadian manusia secara pesimis-deterministik, ditentukan oleh hasil perkembangan di masa kanak-kanak, ketidak sadaran dan motif utama mencari kenikmatan yang didominasi oleh dorongan seksual dan agresif. Di sisi lain, kita juga megacu pada psikologi humanistik yang memandang manusia secara optimistik dan eksistensial. Setiap individu memiliki kesadaran, nilai-nilai pribadi, kapasitas, kebebasan dan tanggung jawab masing-masing untuk tumbuh secara positif. Masalah ditimbulkan oleh hubungan antar manusia dalam situasi (budaya) yang ditandai oleh rasa tidak dipercaya, tidak dicintai, dan tidak ada kebebasan bagi dalam individu untuk tumbuh menjadi diri sendiri, yakni mewujudkan kapasistas pribadinya menjadi suatu prestasi yang diakui oleh masyarakatnya. Di samping kedua pandangan tersebut, para behavioris juga banyak diikuti oleh pemangku BK di Indonesia. Para behavioris tidak memandang manusia secara positif atau negatif, melainkan memandang manusia adalah semata-mata fungsi dari lingkunganya melalui proses belajar. Masalah muncul karena belajar yang salah (maladaptive) dari lingkungan baik melalui proses kondisioning klasik, operan, maupun modeling.

Menanggapi dominasi “teori barat” tersebut, tampaknya perlu dikembangkan cara pandang indegeneos atau paling tidak dilakukan proses indigenizing dari teori barat yang kita pelajari untuk “dibumikan” pada konteks Indonesia. Gagasan ini sangat masuk akal, karena suatu teori dikembangkan dengan menggunakan prinsip kerja deducto-hipotetico-verificatio (Miller, 1993; Salim, 2006) yang tidak terlepas dari kondisi lapangan tempat data dikumpulkan untuk keperluan bangunan teori tersebut. Meskipun suatu teori berusaha (atau mengklaim) mampu mencakup semua hal secara universal (etics), namun dalam proses penyusunannya dan penerapannya ia tidak mungkin melepaskan diri dari aspek konteks (emics). Oleh karena itu kaca mata teori yang berasal dari konteks barat (western oriented) tidak selalu pas dalam mendeskripsikan dan memahami apa yang terjadi di konteks masyarakat timur. Dengan demikian, teori yang dikembangkan dalam konteks barat sudah pasti berbeda dengan konteks timur (yakni Indonesia).

Sebagai contoh, ada unsur universal (etics) dalam emosi, namun di sadari bahwa ada pula faktor kontekstual atau sosio-kultural setempat (emics) dalam terbentuk, ekspresi, dinamika dan berkembangnya emosi (Matsumoto, 2000; Shiraev dan Levy, 2001). Cara pandang indegenous oleh Suryomentaram (1989), ahli Indonesia, mendeskripsikan secara orisinal tentang emosi (rasa, baca: roso), hubungan emosi dan perilaku, dan dalam konteks hubungan dengan masyarakatnya. Berdasar atas premis bahwa emosi dapat berkembang atau menyusut (mulur atau mungkret) terkait dengan keberhasilan atau kegagalan pencapaian keinginan/tujuan individu, maka ia mendeskripsikan struktur kepribadian yang disebut kromodongso, yang memilik unsur, struktur, pola perkembangan, dan cara-cara mendidik dan mengembangkannya sampai menjadi kepribadian yang sehat; yang berbeda dengan, misalnya, Rogers (dalam Sommers & Sommers, 2004) dan Lazarus (1991).

Menurut pandangan Suryomentaram (1981), rasa adalah inti kepribadian yang menggerakkan tingkah laku manusia dalam berbagai kehidupan seperti dalam sekolah, rumah tangga, bertetangga, mencari nafkah, dan sebagainya. Pada kasus mahasiswa yang mengalami kegagalan kuliah (masalah belajar),  misalnya, tidak dipandang sebagai ekspresi ketidaksadaran sebagai akibat “perkembangan yang salah” di masa lalu atau frustrasi akibat kegagalan mengikuti pleasure principle sebagaimana pandangan psikoanalisis; atau tidak dipandang sebagai akibat eksistensi diri yang tidak teraktualisasi dan tidak terakui sebagaimana pandangan humanistik; atau tidak dipandang sebagai kesalahan belajar dari proses lingkungannnya seperti pandangan behavioristik; tetapi menurut Suryomentaram dipandang sebagai akibat rasa (baca: roso, the emotion) yang campur aduk (carub) yang tidak segera dipahami dan diselesaikan oleh mahasiswa yang bersangkutan, yakni antara kecewa, menyesal, takut, malu dan gelisah, dengan keinginan untuk cepat lulus. Kekalutan rasa itu kemudian memunculkan perilaku yang semakin tidak meng-enak-kan (ketidaknyamanan) dalam berhubungan (sesrawungan) dengan lingkungan sosialnya seperti dosen, teman, dan orang tua, juga dengan tugas-tugas yang berkaitan dengan kuliah. Selanjutnya, ia tidak mau (emoh) mengerjakan tugas-tugas  kuliah yang berakibat pada kegagalan belajar atau prestasi belajar rendah (Atmoko, 2005).

 

2. Aspek Epistiomologis

Proses pencarian kebenaran keilmuan BK perlu dilakukan dengan menggunakan kemampuan pikir/logika yang mengikuti hukum sebab-akibat secara rasional-empirikal. Namun demikian, kemampuan kontemplatif dan instrospektif-reflektif (Soewardi, 1996) perlu dipertimbangkan penggunaannya secara seimbang, karena BK adalah bidang ilmu yang terkait dengan objek ilmu yakni manusia, bukan benda semata, yakni objek yang memiliki nilai-nilai, cara pikir, norma dan budaya yang mengandung “kebenaran” yang mereka yakini (oleh Rogers dinamai sebagai realias subjektif) yang menjadi rujukan perilaku termasuk yang bermasalah dan  cara solusinya.

Dalam kerangka pencarian kebenaran dengan logika-empirikal, kebenaran keilmuan BK juga perlu diverifikasi dengan bukti-bukti data lapangan yang proses verfikasi tersebut lazim disebut sebagai metode penelitian kuantitatif. Tujuan utama metode kuantifatif adalah untuk menguji teori, memverifikasi unit-unit hubungan antar beberapa variabel, menyimpulkan hubungan-hubungan tersebut untuk melakukan generalisasi. Untuk itu, perlu banyak dilakukan penelitian untuk menguji premis-premis (yang di lingkup penelitian dirumuskan dalam bentuk hipotesis) di bidang BK. Premis-premis yang telah teruji secara empiris, kemudian digeneralisasi untuk fenomena-fenomena yang sejenis di tempat dan waktu yang berbeda, meskipun dengan tetap memperhatikan keunikan (emics) konteks yang baru.  Premis-premis teruji tersebut “diletakkan” dalam struktur keilmuan BK yang telah dibangun untuk membentuk suatu keilmuan yang lebih kokoh yang memiliki daya generalisasi dan prediksi lebih luas. Selanjutnya, dilakukan verifikasi (penelitian) di berbagai seting empiris untuk proses validasi terkait dengan perubahan ruang dan waktu.

Dalam kerangka pencarian kebenaran dengan kemampuan kontemplatif dan instrospektif-reflektif, kebenaran keilmuan BK dibangun dan diuji dengan metode kualitatif. Tujuan utama metode kualitatif adalah untuk mendeskripsikan dan mengungkap makna terdalam (deep meaning) dari beberapa variabel pada suatu unit studi. Misalnya dengan studi kasus, etnografi, dan penomenologis, peneliti ingin mengungkap nilai-nilai yang mendasari suatu realitas yang eksis, menyusun deskripsi yang bermakna, mengkategorikan temuan yang diperoleh, dan menyusun suatu kerangka teoritis dalam konteks tertentu (context embedded), tanpa bermaksud untuk menggeneralisasikan temuan tersebut. Validitas penelitian diperoleh melalui pemahaman pribadi peneliti yang mendalam tentang fenomena BK yang diteliti setelah serangkaian observasi secara terlibat langsung (partisipatoris). Data faktual, reliabel dan akurat diperoleh dengan menggunakan studi secara intensif pada beberapa kelompok atau individu yang diteliti. Interpretasi data diperoleh berdasar atas perspestif subjek (responden) tentang makna, realitas dan perilaku mereka. Tekniknya, tidak hanya menggunakan analisis logis dan statistik yang selama ini digunakan dalam metode kuantitatif, melainkan juga – lebih-lebih – dengan pemahaman makna melalui teknik introspeksi-kontemplasi-reflektif.

Mengingat pengembangan suatu ilmu selalu terkait dengan konteks masyarakatnya sebagai sumber data dan verifikasi proposisi yang disusun, dan selalu berkaitan dengan ilmu-ilmu (lain) yang sudah ada terutama yang bersumber dari konteks barat, maka pengembangan keilmuan BK dapat ditempuh dengan strategi indegenous dan indigenisasi.

 

1) Strategi indegenous

Pengalaman kita menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan budaya (culture bound) dan ketidaktahuan budaya (culture blind) pada mainstream konseling yang berorientasi barat ketika diterapkan dalam budaya Indonesia. Konsep dan kategori ilmu sebagai alat untuk mempersepsi realitas selalu dimediasi oleh kekuatan sosial, budaya dan tradisi tempat konsep itu disusun. Artinya, realitas sosial menjadi kondisioning bagi pengetahuan, khususnya dalam penggunaan konsep, metode, dan prioritas penelitian yang selalu context’s bound. Oleh karena itu perlu ilmu BK yang menekankan pada kekhususan faktor budaya yang berakar dari masyarakat dan budaya yang spesifik manusia Indonesia.

Indigenous secara leksikal berarti produk asli dari suatu daerah, atau  kandungan asli dari tanah. Secara luas berarti elemen pengetahuan yang dihasilkan dari dan telah berkembang dalam negara atau budaya, dan sebagai kebalikan dari elemen-elemen yang diimpor atau dibawa dari tempat lain. Dua karakternya adalah asli (native) yang bukan transplantasi dari luar, dan berasal dan tumbuh berkembang untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, konseling indigenous Indonesia dapat diartikan sebagai ilmu konseling yang asli, lahir, besar dari dan dirancang untuk masyarakat dan budaya Indonesia, bukan diimpor atau ditransplantasi dari barat. Ia merupakan sistem pemikiran dan praktik konseling yang berakar dari suatu sosial budaya yang spesifik (misalnya suatu provinsi tertentu) untuk mengembangkan ilmu perilaku konseling yang sesuai (macthes) dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Pandangan Suryomentaram (1989) tentang hakikat manusia seperti telah diuraikan merupakan salah satu contoh yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi konseling indigenous Indonesia.

Disadari bahwa masih banyak tokoh atau budaya lokal yang perlu diverifikasi untuk membentuk suatu teori yang memiliki kebenaran ilmiah yang dapat digunakan sebagai landasan keilmuan BK. Indigenous bimbingan konseling yang bukan diimpor atau ditransplantasi dari luar, tetapi ia lahir, besar dan dirancang untuk masyarakat dan budaya, berangkat dari sistem pemikiran dan praktik-praktik layanan bantuan yang berakar pada sosial budaya Indonesia perlu terus digali dan diteliti. Ini merupakan usaha untuk mengembangkan keilmuan BK yang asli dan sesuai (macthes) dengan realitas sosio-kultural Indonesia.

Ada empat hal yang mencirikan BK Indigenous, yaitu (1) tumbuh dari tradisi budaya Indonesia, bukan paksaan dari luar, (2) tidak bersandar pada induksi perilaku artificial yang biasanya tereduksi melalui eksperimen, tetapi berangkat dari kehidupan sehari-hari yang telah mengakar, (3) perilaku tidak dideskripsi dan diinterpretasi dengan menggunakan kategori dan teori-teori yang diimpor (barat), tetapi dengan menggunakan istilah setempat, kerangka kerja (frame of reference) dan kategori-kategori yang diderivasi dari budaya lokal (misalnya menggunakan terminologi kromodongso yang khas untuk menggambarkan the self pada teori dari barat), dan (4) memasukkan pengetahuan  BK yang relevan yang dirancang bagi masyarakat setempat, merefleksikan realitas sosio-kultural setempat yang sesuai dengan masyarakat Indonesia.

Meskipun demikian, dalam praktiknya BK indigenous berkembang secara bertahap dari campuran pengetahuan yang diimpor dan elemen yang unik dalam budaya setempat. Ia merupakan interaksi, integrasi antara dua sistem BK yaitu exogenous dan indigenous. Oleh karena itu, dalam pengembangan keilmuan BK, di samping proses indigenous diperlukan pula suatu proses indigenisasi, yakni proses “membumikan”  teori barat ke dalam konteks Indonesia.

 

2) Strategi Indigenisasi (indigenization)

Indigenisasi adalah proses asimilasi dan adaptasi secara bertahap pengetahuan konseling barat ke dalam seting budaya Indonesia. Indigenisasi merupakan proses transformasi, kontekstualisasi, modifikasi, to make fit the new culture, reflect with theories and local culture, artinya bukan dari impor dan digunakan apa adanya.  Teori-teori konseling psikoanalitik, humanistik dan behavioristik sebagaimana telah disebut yang berasal dari budaya Eropa-Amerika, perlu dimodifikasi, diasimilasi, diadaptasi dan ditransformasi secara bertahap ke dalam seting budaya Indonesia,  sehingga mereka fit the Indonesian culture dan reflect with theories and Indonesian culture.

Faktor yang mendorong perlunya indigenisasi konseling ke dalam budaya Indonesia adalah reaksi terhadap tendensi etnosentris (western superiority) yang dimiliki oleh mainstream konseling, yang ternyata memiliki keterbatasan budaya. Pada hakikatnya konseling produk Eropa-Amerika adalah sebagai “indigenous counseling of West” yang bersifat monokultur Anglo-Saxon. Konseling Eropa-Amerika tumbuh dan hanya konsern pada masalah dalam budaya Anglo-Saxon, tidak dari budaya yang lainnya. Oleh karena itu, validitas dan generalisasi temuan mereka untuk budaya atau konteks lain sangat dipertanyakan. Mereka tidak cukup memiliki skema budaya non-western sehingga akan gagal menangkap esensi masalah penting dalam budaya non-western.

Di samping itu, konseling barat seringkali ditransplantasi ke negara berkembang (Indonesia) sebagai “paket intelektual yang siap pakai” yang diterima tanpa kritik terutama oleh para mahasiswa calon konselor Indonesia.  Sebagian besar penelitian konseling di budaya non-barat menggunakan sumber-sumber referensi dari Eropa-Amerika. Akibatnya, konsep-konsep barat tidak mampu menangkap makna fenomena lokal, misalnya penggunaan konsep emphaty dalam konseling mungkin tidak seakurat konsep tanggap ing sasmita dan tepo sliro (konsep khas budaya Jawa) untuk mendeskripsikan kemampuan seseorang (konselor – konseli) dalam menangkap makna yang dirasakan oleh orang lain, dan berdasar sedikit isarat dari orang lain itu, ia mampu memberikan respon perilaku yang tepat sesuai harapan orang lain tersebut. Artinya, konselor yang mempelajari dan menggunakan konsep empathy secara apa adanya pengertian barat, akan sangat mungkin salah tafsir ketika menghadapi dan mendeskripsikan fenomena yang dikonseptualisasikan dengan istilah tanggap ing sasmita dan tepo sliro dalam budaya Jawa (Indonesia). Ketidaktepatan penggunaan konsep tersebut, akan berimplikasi pada perlakuan konselor dan efektivitas konseling.

Konseling yang berakar dari budaya barat dalam praktiknya akan menggunakan konsep dan hasil penelitian yang sangat mungkin tidak aplikabel untuk konteks sosio-budaya Indonesia. Konsep dan cara mereka tidak relevan dalam menghadapi isu-isu konselor dan konseli Indonesia. Untuk itu, kita perlu mulai mengkonsentrasikan pada kebutuhan untuk mengkontekstualisasikan konseling, yang memberdayakan budaya yang lebih relevan serta berakar pada sosio-budaya Indonesia.

Indigenisasi konseling dengan mencari akar budaya konseling barat dan menyesuaikannya dalam seting budaya  Indonesia, akan menghindarkan kita dari jebakan posisi dua kutub, yakni, kutub posisi radikal ekstrim pada relativisme budaya yang menghalangi perbandingan antar budaya, sedangkan di satu sisi yang lain adalah yang memelihara dominasi intelektual barat,  mainstream konseling, dengan sikap skeptis dan prasangka buruk terhadap konseling indigenous Indonesia. Dengan indigenisasi konseling, kita menjadi ilmuwan Indonesia yang memiliki pandangan dan pemikiran positif terhadap nilai, pemikiran dan praktik lokal Indonesia yang berguna bagi pengembangan konseling, memiliki pikiran kritis yang bernilai terhadap praktik konseling barat maupun lokal, dan medorong kita untuk memelihara identitas budaya lokal sejalan dengan gerakan untuk menjadi lebih integratif ke dalam framework yang lebih luas, dan kita tidak membabi buta untuk menolak ide dari barat karena dianggap asing dan buruk.

Ada enam strategi riset indigenisasi bimbingan konseling Indonesia, yaitu (1) menekankan pemahaman teori barat berdasar pada konteks ekologis, budaya dan historis Indonesia, (2) mempelajari perilaku manusia yang dideskripsikan oleh teori barat bukan dalam konteks budaya asli mereka yang merupakan budaya asing, melainkan lebih pada menguatkan pada budaya Indonesia untuk membangun pemahaman atas dunia konselor dan konseli di Indonesia, (3) tetap menerima pendekatan beberapa masyarakat atau budaya dari berbagai daerah di Indonesia yang perspektifnya bisa bervariasi, namun, tetap ada sistem pengetahuan mainstream konseling yang paralel yang saling berinteraksi, tidak hanya terbatas pada budaya Indonesia, (4) lebih untuk menemukan dan menempatkan suatu metode scientific yang tepat untuk menginvestigasi fenomena BK Indonesia, (5) tidak berasumsi bahwa suatu perspektif barat lebih superior daripada Indonesia secara a priori, tetapi menegaskan eksistensi suatu pendekatatan dan orientasi alternatif untuk mempelajari konseling, dan (6) tujuan utama adalah menemukan fakta dan prinsip universal, bukan berkomitmen pada relativisme budaya dan penolakan pada prinsip konseling yang bersifat universal.

3. Aspek Aksiologis

Pada aspek aksiologis, keilmuan BK baik yang indegenous maupun hasil indigenisasi hampir pasti dilaksanakan dalam seting budaya Indonesia. Namun, perlu pula disadari bahwa Indonesia bukanlah budaya yang tertutup dan statis, melainkan suatu budaya yang terus berinteraksi dengan berbagai budaya di dunia termasuk dengan budaya barat, dan terus berubah sejalan dengan berbagai interaksi tersebut. Era globalisasi dirasakan mengakselerasi proses asimilasi, akomodasi, akulturasi berbagai budaya yang ada di dunia. Oleh karena itu, di samping masih tetap perlu kehati-hatian dalam penerapan konseling yang telah teruji, konselor juga sangat perlu (bahkan harus) selalu meng-up date pengetahuan yang telah mereka pelajari dan gunakan. Ini artinya, keilmuan BK Indonesia juga harus terus dikembangkan.

B. Penerapan ICT

Setelah BK sebagai ilmu dan strategi pengembangannya diuraikan secara singkat, maka digagas bagaimana peran ICT (Information and Communication Technology) bagi pengembangan keilmuan BK yang bercorak Indonesia.

Meskipun ICT secara luas mencakup pula media komunikasi massa seperti radio dan televisi, namun dalam pembahasan ini hanya dibatasi pada teknologi komputer dan jaringan internet yang, tentu saja, lebih difokuskan pada perangkat lunak dan fungsi-fungsinya daripada macam-macam perangkat keras. Barangkali, lebih spesifik, ditunjuk beberapa contoh yaitu program analisis data, sistem data base, power point, e-mail, face book, tele-conference, web dan blog. Kelebihan teknologi informasi adalah proses pengiriman dan penerimaan informasi yang lebih cepat, lebih luas sebarannya, lebih tahan lama disimpan, dan praktis serta efisien dari segi jutaan muatan informasi yang dapat disimpan ‘hanya dalam saku’ (dalam bentuk flashdisk). Bahkan kemajuan teknologi ini sudah mampu mengatasi batasan ruang dan waktu yang tentu sangat cocok bagi wilayah geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari kepulauan.

Pengembangan keilmuan merupakan proses yang memerlukan ketelitian, kesabaran dan akurasi sejak studi pustaka sampai pengujian hipotesis dan perumusan kesimpulan, dan komunikasi antar komunitas untuk penyebaran ilmu dan untuk saling koreksi dalam rangka penyempurnaannya.  Fungsi utama ICT bagi pengembangan keilmuan adalah fungsi percepatan (akselerasi) bagi terbentuknya struktur keilmuan BK di Indonesia yang kokoh (establish). Jika tanpa ICT mungkin memakan waktu sampai beberapa dekade, maka dengan ICT proses tersebut bisa dipercepat, tanpa mengurangi syarat kualitas yang dituntut sebagai suatu sains.

Untuk mempercepat wujud struktur keilmuan BK di Indonesia yang kokoh tersebut,  gagasan tentang pusat ICT BK Indonesia perlu segera direalisasikan. Asosiasi profesi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) perlu memiliki web tentang Bimbingan Konseling Indonesia. Teknis nama, pembuatan, pengisian dan up dating, organisasi pelaksana dan biaya pemeliharaan perlu diputuskan sebagai kebijakan dan program kerja ABKIN. Pusat informasi dalam dunia maya ini dimaksudkan sebagai rujukan misalnya mencari sumber pustaka dan jurnal hasil penelitian, meningkatkan efisiensi proses penelitian terutama dengan pengumpulan data secara on line, komunikasi-publikasi keilmuan BK termasuk pengalaman-pengalaman praktisi BK seluruh Indonesia,  dan bahkan proses standaridasi praktik profesi BK di Indonesia.

Dalam jangka panjang pusat ICT BK ini akan membentuk suatu jejaring sosial bukan hanya komunitas BK, melainkan juga profesi lain terutama bidang pendidikan. Ia juga merupakan sarana promosi yang efektif dengan jangkauan sangat luas (mendunia), yang memungkinkan terbentuknya kerjasama baik kelembagaan ABKIN maupun perorangan anggota dengan berbagai institusi dan dengan komunitas berbagai disiplin ilmu. Jejaring tersebut memungkinkan terjadinya lalu lintas masukan, sumbang saran, dan pengumpulan karya ilmiah bidang BK semakin terorganisir dan mudah diakses serta digunakan bagi kemajuan keilmuan BK itu sendiri maupun praktik profesi BK. Tentu ini akan menimbulkan multiplier effect yang sangat mengesankan bagi keilmuan BK. Out come yang lain adalah muncul ketokohan para pemangku keilmuan BK dengan spesifikasi keahlian masing-masing, yang tentunya semakin menguatkan bangunan keilmuan BK Indonesia.

Setidaknya, pusat ICT yang kita gagas mencakup konten tentang visi & misi pengembangan keilmuan BK, organisasi pelaksana termasuk staf ahlinya, teori-teori yang telah ‘mapan’ di bidang BK maupun terkait BK, kearifan lokal yang berpotensi dikembangkan menjadi keilmuan BK, katalog temuan-temuan penelitian sejak paling awal sampai terbaru, beberapa pendekatan dan metode penelitian dalam BK baik kuantitatif maupun kualitatif, informasi yang terbaru kegiatan organisasi, prestasi-prestasi yang pernah dicapai, kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pendidikan dan BK di Indonesia, dan berbagai informasi yang sangat diperlukan  bagi pengembangan keilmuan BK maupun profesi BK di Indonesia.

Gagasan ini optimis terwujud karena Kementrian Pendidikan Nasional , institusi formal tempat profesi BK bernaung, juga sedang mengembangkan infrastruktur jejaring maya yang menjangkau setiap sekolah di Indonesia. Artinya, pusat ICT BK akan mudah diakses oleh para konselor di sekolah-sekolah di seluruh pelosok. Namun, tantangan besar justru di pihak para pemangku BK itu sendiri, maukah secara konsisten dan kontinyu untuk mengembangkan pusat ICT. Pertanyaannya adalah: maukah kita menjadi pelaku sejarah untuk pengembangan keilmuan BK sekarang dan masa depan?

Terkait dengan kontinyuitas pusat ICT, proses pembelajaran di prodi-prodi BK, tidak bisa tidak,  harus membiasakan penggunaan ICT agar para dosen dan calon konselor sudah familiar dengan ICT, sehinggga merupakan ‘gayung bersambut’ bagi kehidupan pusat ICT. Keharusan ini rupanya tidak bisa ditunda lagi, mengingat beberapa kompetensi (calon) konselor berimplikasi pada penggunaan ICT. Kompetensi yang dimaksud adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2008).

1)      Memanfaatkan hasil-hasil penelitian dalam bimbingan konseling. Kompetensi ini menuntut (calon) konselor  untuk melakukan browsing/mengakses jurnal-jurnal bimbingan konseling, pendidikan dan psikologi, dan kemudian mampu merangkum serta menyajikannya secara menarik/enak dibaca/mudah dipahami dalam bentuk gambar, bagan, grafik statistik, poster, photo dan sebagainya. Untuk itu (calon) konselor setidaknya menguasai browsing, program excel dan power point.

2)      Menganalisis kebutuhan konseli. Kompetensi ini menuntut keterampilan untuk entry data, melakukan analisis deskriptif dan inferensial, menyimpulkan dan menyajikan data dalam bentuk grafik/gambar statistik. Untuk itu (calon) konselor setidaknya menguasai program excel dan analisis data Spss.

3)      Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan konseling kepada pihak terkait: orang tua, guru, kepala sekolah, pengguna informasi yang lai.  Kompetensi ini menuntut keterampilan untuk entry data, melakukan analisis deskriptif dan inferensial, menyimpulkan, mengemas dan menyajikan informasi dalam bentuk tulisan dan grafik/gambar statistik. Untuk itu (calon) konselor setidaknya menguasai program web/blog, face book, e-mail, power point, excel dan analisis data Spss.

4)      Mengadministrasikan hasil asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli.  Kompetensi ini menuntut keterampilan untuk entry data, melakukan analisis deskriptif dan inferensial, menyimpulkan dan menyajikan data dalam bentuk grafik/gambar statistik. Untuk itu (calon) konselor setidaknya menguasai program data base, power point, excel dan analisis data Spss.

5)      Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli.  Kompetensi ini menuntut keterampilan dalam mendesain instrumen secara computerize, analisis, penyimpanan dan sajian hasilnya dalam bentuk data base.

6)      Mengakses data dokumentasi tentang konseli. Kompetensi ini menuntut keterampilandalam mendesain sistem informasi data konseli baik individu maupun kelas. Untuk itu (calon) konselor setidaknya menguasai program web, analisis data Spss dan sistem data base.

7)      Mengomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan layanan bk kepada pihak-pihak terkait. Kompetensi ini menuntut keterampilan dalam membuat bahan presentasi dengan power point dan program sejenisnya.

8)      Mengomunikasikan aspek-aspek profesionalisme bimbingan konseling kepada organisasi profesi lain. Kompetensi ini menuntut keterampilan dalam menulis artikel hasil penelitian/konseptual, pengalaman, pendapat dsb., untuk disajikan dalam forum-forum ilmiah. Untuk itu (calon) konselor perlu menguasai teknik browsing yang efektif, program analisis data dan power point.

Terkait dengan penggunaan ICT dalam pembelajaran calon konselor, maka struktur ketenagaan pendidikan konselor pun perlu diubah. Selama ini ‘hanya’ terdiri dari tenaga dosen yang berlatar belakang BK dan (beberapa) psikologi, tetapi di masa depan perlu pula tenaga yang menguasai khusus ICT dan pengolahan data. Demikian, semoga gagasan ini mendapat sambutan para pemangku keilmuan dan profesi BK untuk segera bersama-sama mewujudkannya. Terimakasih.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Atmoko, Adi. 2005. Emosi dan Perilaku Belajar Mahasiswa Berprestasi

Belajar Rendah dalam Perkuliahan: tinjauan teori Suryomentaram.

Laporan penelitian tidak diterbitkan.

 

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Penataan Pendidikan Profesional

Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur

Pendidikan formal. Bandung: Prodi BK-UPI

 

Matsumoto, David. 2000. Culture and Psychology: people around the world.

Edisi 2. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning

 

Miller, PH. 1993. Theories of Developmental Psychology. edisi ke-3. New

York: WH Freedman & Co.

 

Salim, Agus. 2006. Bangunan Teori: Metodologi Penelitian untuk Bidang

Sosial, Psikologi dan Pendidikan. Edisi 2. Yogyakarta: Tiara Wacana

 

Shiraev, Eric & Levy, David. 2001. Introduction to Cross-Cultural

Psychology: Critical Thingking and Contemporary Applications.

Needham Heights, MA: Allyn Bacon

 

Suryamentaram, Grangsang. 1989. Kawruh Jiwa. Jilid 1, 2, 3 dan 4. Jakarta:

CV Haji Masagung.

 

Soewardi, Herman. 1996. Nalar, Kontemplasi dan Realita. Bandung: Program

Pasca Sarjana UNPAD.

 

 

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar